Sudut pandang yang sering digunakan dalam mengenal dan mengerti hutan
rakyat adalah sudut pandang pragmatisme, geografis, dan sistem tenurial (Awang et. al., 2002). Pandangan pragmatisme melihat hutan yang dikelola
rakyat hanya dari pertimbangan kepentingan pemerintah saja. Semua pohon-pohonan
atau tanaman keras yang tumbuh di luar kawasan hutan negara langsung diklaim
sebagai hutan rakyat. Konsekuensi logisnya adalah hutan rakyat tidak diusahakan
pada tanah negara. Pengertian tersebut telah mengabaikan kapasitas pelaku pengusahaan
hutan rakyat tetapi lebih menekankan pada kepemilikan lahan (Dudung Darusman
dan Harjanto, 2006). Pandangan geografis menggambarkan aneka ragam bentuk dan
pola serta sistem hutan rakyat tersebut, berbeda satu sama lain tergantung
letak geografis, ada yang di dataran rendah, medium, tinggi dan jenis
penyusunnya berbeda menurut tempat tumbuh, serta sesuai dengan keadaan iklim
mikro. Pandangan sistem tenurial berkaitan dengan status misalnya status hutan
negara yang dikelola masyarakat, hutan adat, hutan keluarga dan lain-lain.
Terminologi pemerintah dan lembaga Perguruan Tinggi di Indonesia menyebut
semua pohon dan pohon buah-buahan yang ditanam di lahan milik yang memiliki
fungsi ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya disebut hutan rakyat (Awang et.
al., 2007). Hutan rakyat artinya sumberdaya hutan berupa pekarangan, tegalan
dan ”wono”, yang secara penuh
dimiliki oleh masyarakat.
Perkembangan pengertian hutan rakyat sampai saat ini sangat beragam
tergantung pada waktu yang diberikan terhadap batasan hutan rakyat. Beberapa
pengertian atau definisi hutan rakyat (Mindawati, N.
2006) :
a. Hutan rakyat merupakan
tanaman pohon-pohonan (tanaman tahunan) yang terdiri dari berbagai jenis, baik
tumbuh secara alami maupun ditanam dalam bentuk kebun atau terpencar-pencar di
tanah penduduk yang berfungsi sebagai sumber kayu dan hasil hutan lainnya
(Djajapertjunda, 1959 dalam LP IPB 1990)
b. Hutan rakyat adalah
sebutan lain untuk hutan yang berstatus hutan milik, menurut penjelasan(UU No.
5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan Departemen Pertanian,
1967).
c. Hutan rakyat adalah
tanaman kayu rakyat yang tumbuh diantara tanaman-tanaman pertanian lainnya,
atau areal tanah kering yang ditanami pohon-pohon yang dapat diperdagangkan.
(Suyana, 1976).
d. Hutan rakyat adalah
hutan yang dibangun pada lahan milik atau gabungan dari lahan milik yang
ditanami pohon dengan pembinaan dan pengelolaannya dilakukan oleh pemiliknya
atau suatu badan usaha seperti koperasi, dengan berpedoman kepada
ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan pemerinta. (Alrasyid, 1979).
e. Hutan rakyat adalah
istilah lain untuk kebun campuran, untuk lahan yang ditanami kombinasi antara
tanaman berkayu dan tanaman pertanian serta tanaman buah-buahan. (Maryanto,
1984 dalam LP. IPB 1990).
f. Hutan rakyat adalah suatu
kebun yang hanya ditumbuhi beberapa pohon saja sebagai sentral, dimana pohon
merupakan tumbuhan berkayu yang dapat mencapai tinggi lebih dari 4 meter dan
berdiameter sama atau lebih besar dari 10 cm. (Lembaga Penelitian IPB, 1986
dalam LP 1990).
g. Hutan rakyat adalah
suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon diatas tanah milik dengan luas minimal
0,25 ha, dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan minimal 50% dan atau pada
tahun pertama jumlah batang minimal 500 batang/ha. (Kepmenhut No.
49/Kpts-II/1997 Departemen Kehutanan).
h. Hutan rakyat adalah
hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik (UU Kehutanan No. 41
Tahun 1999, Departemen Kehutanan, 1999).
i. Hutan rakyat merupakan
hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan,
karenanya hutan rakyat disebut hutan milik. (Hardjanto, 2001).
Terbentuknya sistem penggunaan lahan yang kemudian dikenal dengan sebutan
sistem hutan rakyat merupakan respon dari kebutuhan-kebutuhan mempertahankan
hidup warga masyarakat. Respon pada keadaan alam yang mulai tidak bersahabat
karena kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pandangan-pandangan
pengetahuan reduksionis cartesian,
yang menempatkan paradigma antroposentris
dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam perkembangannya menurut Awang et. al. (2007),
paradigma antroposentris pada akhirnya terkoreksi sendiri oleh masyarakat
sehingga memunculkan pandangan bio-ecosentrism.
Beberapa karakteristik hutan rakyat bila ditinjau dari aspek manjemen hutan
yaitu (Awang et. al., 2007):
a. Hutan rakyat berada di tanah milik dengan alasan
tertentu, seperti lahan yang kurang subur, kondisi topografi yang sulit, tenaga
kerja terbatas, kemudahan pemeliharaan, dan faktor resiko kegagalan yang kecil.
b. Hutan rakyat tidak mengelompok dan tersebar berdasarkan
letak dan luas kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani pada berbagai
topografi lahan.
c. Pengelolaan hutan rakyat berbasis keluarga yaitu
masing-masing keluarga melakukan pengembangan dan pengaturan secara terpisah.
d. Pemanenan hutan rakyat berdasarkan sistem tebang butuh,
sehingga konsep kelestarian hasil belum berdasarkan kontinuitas hasil, yang
dapat diperoleh dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan
(riap) tanaman.
e. Belum terbentuk organisasi yang profesional untuk
melakukan pengelolaan hutan rakyat.
f. Belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat,
sehingga tidak ada petani hutan rakyat yang berani memberikan jaminan terhadap
kontinuitas pasokan kayu bagi industri.
g. Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali
petani hutan rakyat sebagai produsen, sehingga keuntungan terbesar dari
pengelolaan hutan tidak dirasakan oleh petani hutan rakyat.
Karekter tersebut mengisyaratkan rentannya kelestarian hutan rakyat akibat
adanya peningkatan kebutuhan industri berbasis kehutanan, terutama bahan baku kayu. Hal ini
diperparah dengan menurunnya produktifitas kayu dari hutan negara yang
disebabkan oleh penebangan liar dan kegagalan pembuatan tanaman. Secara lebih
jelas permasalahan yang mengancam kelestarian hutan rakyat digambarkan dalam
pohon permasalahan hutan rakyat oleh Awang et. al. (2007) seperti pada gambar :
Kemampuan hutan rakyat sebagai alternatif
pemenuhan kebutuhan bahan baku
menjadi daya tarik tersendiri bagi industri perkayuan. Kesenjangan supply dan demand bahan baku
kayu yang berasal dari hutan alam semakin memantapkan arti penting keberadaan
hutan rakyat. Hal ini berkaitan juga dengan tumbuhnya aktivitas lanjutan
seperti usaha-usaha yang termasuk dalam backward
and forward linkages. Berdasarkan hasil produksinya, hutan rakyat tidak
hanya menghasilkan produk kayu semata. Melalui pola tanam dengan sistem
agroforestri/wanatani, hutan rakyat juga menghasilkan berbagai komoditi tanaman
pangan dari tanaman semusim dan komoditi lainnya dari tanaman Multi Purpose Trees Species (MPTS). Secara ekologis
pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan lebih efisien melalui fungsinya
sebagai penyangga kehidupan masyarakat dalam mengatur konservasi sumberdaya
alam, tata air dan sebagai prasarana untuk memelihara kualitas lingkungan hidup
seperti penyerap karbon dioksida, produksi oksigen dan menjaga keragaman hayati
(biodiversity) flora dan fauna.
Sumber Bacaan :
Awang, S.A., et.al. 2002. Hutan Rakyat Sosial Ekonomi dan Pemasaran. Yogyakarta. BPFE.
Awang, S.A., et.al. 2007. Unit Manajemen Hutan Rakyat: Proses Kontruksi Pengetahuan Lokal. Yogyakarta. Banyumili Art Network, PKHR Fahutan UGM.
Dudung Darusman dan Harjanto. 2006. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : Konstribusi Hutan Rakyat Dalam Kesinambungan Industri Kehutanan. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Mindawati, N; Widiarti A.; Rustaman B. 2006. Review Hasil Penelitian Hutan Rakyat. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.