Berikut adalah beberapa pemaknaan
hutan dalam definisi hutan yang banyak dianut dalam era modern :
1. Hutan menurut Dengler (1930) adalah kumpulan
pohon-pohon yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas dan kerapatannya
sedemikian rupa sehingga mampu menciptakan iklim micro (setempat) serta keadaan
ekologis (lingkungan) yang berbeda diluarnya.
2. Undang-undang Pokok Kehutanan (UU Nomor 5/1967) Hutan
adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan
merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan yang
ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan.
3.
Menurut Spurr (1973), hutan dianggap sebagai
persekutuan antara tumbuhan dan binatang dalam suatu asosiasi biotis. Asosiasi
ini bersama-sama dengan lingkungannya membentuk suatu sistem ekologis dimana
organisme dan lingkungan saling berpengaruh di dalam suatu siklus energi
yang kompleks.
4. Menurut
terminologi baku terbaru yang dibuat oleh Society
of American Foresters ( SAF) sebagaimana dimuat dalam The Dictionary of Forestry
hutan didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang dicirikan oleh adanya
penutupan pohon yang cukup rapat dan has, biasanya terdiri dari tegakan dengan
ciri-ciri beragam dalam komposisi jenis, struktur dan kelas umur yang membentuk
suatu persekutuan; umumnya di dalamnya tercakup padang rumput, sungai-sungai
kecil berikut ikan yang terdapat di dalamnya dan satwa liar. Dijelaskan lebih
lanjut bahwa beberapa bentuk khusus seperti : hutan industri, hutan milik,
hutan tanaman dan hutan kota
termasuk pula dalam kategori hutan.
5. Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumber daya alam hayati dan didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Definisi
diatas adalah buah pikiran logic dan rasional manusia. Namun disisi lain
sesungguhnya mitologi hutan awalnya adalah sangat lekat dengan paradoks kosmos
dan keos. Hutan adalah sebuah terminology yang sejak lama dikenal oleh
manusia. Berbagai macam pemaknaan hutan oleh orang perorang maupun kelompok
masyarakat, menunjukkan bahwa hutan merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari system kehidupan pada alam
semesta. Seiring dengan perkembangan pengagungan manusia atas logika dan
rasionalitas sebagai sumber kebenaran, keberadaan hutan mulai terdesak oleh
kebutuhan praktis kehidupan modern. Lambat laun keberadaan hutan yang dipandang
memiliki nilai spiritual mulai memudar dan tergantikan oleh nilai-nilai ekonomi
yang mengatasnamakan kesejahteraan sosial dan ekologi.
Ketika manusia masih memandang
alam ini sebagai bagian dari kepercayaan dan ritual-ritual adat tradisional,
alam masih sangat bersahabat. Penghormatan yang dikaitkan dengan lingkungan
selalu dilakukan masyarakat. Tradisi selamatan saat mulai turun ke sawah,
membuka lahan, memungut hasil panen atau untuk sekedar menebang sebatang pohon
tidak pernah lepas dari ritual-ritual yang membangun hubungan antara manusia
dengan alam sekitarnya. Manusia belajar dari tanda-tanda alam. Meramalkan suatu
peristiwa, bencana alam, musim hujan, musim kemarau, datangnya bencana, memulai
suatu kegiatan, melaksanakan hajatan bahkan untuk pergantian pemimpin masyarakat
adat. Pada kondisi itu manusia seakan-akan berdialog dengan alam. Seolah-olah
manusia punya hubungan batin dengan lingkungan sekitarnya.
Kembali pada mitologi hutan
sebagai kosmos, mendeskripsikan bahwa hutan adalah lokasi sakral dimana roh-roh
suci bersemayam sehingga para kesatria atau lelana kerap melakukan tapa brata
di sana. Tujuan
dari ritual itu selalu dilekatkan pada penemuan diri dan pencapaian harmoni
dengan semesta. Pada sisi keos, hutan melambangkan ‘keliaran’, sebuah tempat
dimana hukum yang kuat yang berkuasa berlaku, tempat mahluk buas yang haus
dengan mangsa, sehingga kemudian kita mengenal ada hukum rimba.
Perkembangan dunia modern mulai
menafikan paradoks kosmos dan keos pada mitologi hutan. Dahulu penduduk sekitar
hutan sangat berhati-hati untuk sekedar memasuki wilayah hutan, bahkan mereka
mempercayai ada wilayah hutan larangan yang tidak boleh dijamah secara
sembarangan. Tetapi kondisi kini lain, ketika para investor pembalak hutan lancar-lancar
saja mengerahkan traktor-traktor untuk merobohkan kayu-kayu hutan. Penduduk
sekitar hutan mulai dipertontonkan aksi eksploitasi hutan yang pengelolaannya
jauh dari nalai-nilai spiritual kepercayaan mereka. Akhirnya hutan larangan
yang angker dan liar sudah tidak dianggap lagi. Tradisi selamatan atau hajatan sebagai
bentuk penghormatan dalam pemanfaatan sumber daya alam juga mulai tak
diindahkan.
Kita memang tidak bisa begitu saja mengkaitkan sebuah
kejadian bencana alam dengan tidak dilaksanakannya model paradoks kosmos
mitologi hutan. Tetapi rasanya kita juga tidak ada salahnya jika coba
merenungkan kembali keagungan para leluhur kita dan coba kita terjemahkan
kebijakan mitologi yang mereka anut melalui suara hati yang menyatu dengan hati
alam semesta. Tak bisa dipungkiri bahwa akar budaya Indonesia tumbuh dengan pupukan
nilai-nilai tradisional yang memercayai hal-hal gaib dan dunia mitos. Sejak
zaman dulu Nusantara sudah memegang kebiasaan untuk selalu mengandalkan dongeng
sebagai bagian pelajaran hidup bermasyarakat.