Ads 468x60px

Labels

Minggu, 08 Juli 2012

Mitologi Hutan


Berikut adalah beberapa pemaknaan hutan dalam definisi hutan yang banyak dianut dalam era modern :
1.  Hutan menurut Dengler (1930) adalah kumpulan pohon-pohon yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas dan kerapatannya sedemikian rupa sehingga mampu menciptakan iklim micro (setempat) serta keadaan ekologis (lingkungan) yang berbeda diluarnya.
2. Undang-undang Pokok Kehutanan (UU Nomor 5/1967) Hutan adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan.
3.   Menurut Spurr (1973), hutan dianggap sebagai persekutuan antara tumbuhan dan binatang dalam suatu asosiasi biotis. Asosiasi ini bersama-sama dengan lingkungannya membentuk suatu sistem ekologis dimana organisme dan lingkungan saling berpengaruh di dalam suatu siklus energi yang kompleks.
4.   Menurut terminologi baku terbaru yang dibuat oleh Society of American Foresters ( SAF) sebagaimana dimuat dalam The Dictionary of Forestry  hutan didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang dicirikan oleh adanya penutupan pohon yang cukup rapat dan has, biasanya terdiri dari tegakan dengan ciri-ciri beragam dalam komposisi jenis, struktur dan kelas umur yang membentuk suatu persekutuan; umumnya di dalamnya tercakup padang rumput, sungai-sungai kecil berikut ikan yang terdapat di dalamnya dan satwa liar. Dijelaskan lebih lanjut bahwa beberapa bentuk khusus seperti : hutan industri, hutan milik, hutan tanaman dan hutan kota termasuk pula dalam kategori hutan.
5.  Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati dan didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.


Definisi diatas adalah buah pikiran logic dan rasional manusia. Namun disisi lain sesungguhnya mitologi hutan awalnya adalah sangat lekat dengan paradoks kosmos dan keos. Hutan adalah sebuah terminology yang sejak lama dikenal oleh manusia. Berbagai macam pemaknaan hutan oleh orang perorang maupun kelompok masyarakat, menunjukkan bahwa hutan merupakan bagian yang tidak bisa  dilepaskan dari system kehidupan pada alam semesta. Seiring dengan perkembangan pengagungan manusia atas logika dan rasionalitas sebagai sumber kebenaran, keberadaan hutan mulai terdesak oleh kebutuhan praktis kehidupan modern. Lambat laun keberadaan hutan yang dipandang memiliki nilai spiritual mulai memudar dan tergantikan oleh nilai-nilai ekonomi yang mengatasnamakan kesejahteraan sosial dan ekologi.

Ketika manusia masih memandang alam ini sebagai bagian dari kepercayaan dan ritual-ritual adat tradisional, alam masih sangat bersahabat. Penghormatan yang dikaitkan dengan lingkungan selalu dilakukan masyarakat. Tradisi selamatan saat mulai turun ke sawah, membuka lahan, memungut hasil panen atau untuk sekedar menebang sebatang pohon tidak pernah lepas dari ritual-ritual yang membangun hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya. Manusia belajar dari tanda-tanda alam. Meramalkan suatu peristiwa, bencana alam, musim hujan, musim kemarau, datangnya bencana, memulai suatu kegiatan, melaksanakan hajatan bahkan untuk pergantian pemimpin masyarakat adat. Pada kondisi itu manusia seakan-akan berdialog dengan alam. Seolah-olah manusia punya hubungan batin dengan lingkungan sekitarnya.

Kembali pada mitologi hutan sebagai kosmos, mendeskripsikan bahwa hutan adalah lokasi sakral dimana roh-roh suci bersemayam sehingga para kesatria atau lelana kerap melakukan tapa brata di sana. Tujuan dari ritual itu selalu dilekatkan pada penemuan diri dan pencapaian harmoni dengan semesta. Pada sisi keos, hutan melambangkan ‘keliaran’, sebuah tempat dimana hukum yang kuat yang berkuasa berlaku, tempat mahluk buas yang haus dengan mangsa, sehingga kemudian kita mengenal ada hukum rimba.

Perkembangan dunia modern mulai menafikan paradoks kosmos dan keos pada mitologi hutan. Dahulu penduduk sekitar hutan sangat berhati-hati untuk sekedar memasuki wilayah hutan, bahkan mereka mempercayai ada wilayah hutan larangan yang tidak boleh dijamah secara sembarangan. Tetapi kondisi kini lain, ketika para investor pembalak hutan lancar-lancar saja mengerahkan traktor-traktor untuk merobohkan kayu-kayu hutan. Penduduk sekitar hutan mulai dipertontonkan aksi eksploitasi hutan yang pengelolaannya jauh dari nalai-nilai spiritual kepercayaan mereka. Akhirnya hutan larangan yang angker dan liar sudah tidak dianggap lagi. Tradisi selamatan atau hajatan sebagai bentuk penghormatan dalam pemanfaatan sumber daya alam juga mulai tak diindahkan.

Kita memang tidak bisa begitu saja mengkaitkan sebuah kejadian bencana alam dengan tidak dilaksanakannya model paradoks kosmos mitologi hutan. Tetapi rasanya kita juga tidak ada salahnya jika coba merenungkan kembali keagungan para leluhur kita dan coba kita terjemahkan kebijakan mitologi yang mereka anut melalui suara hati yang menyatu dengan hati alam semesta. Tak bisa dipungkiri bahwa akar budaya Indonesia tumbuh dengan pupukan nilai-nilai tradisional yang memercayai hal-hal gaib dan dunia mitos. Sejak zaman dulu Nusantara sudah memegang kebiasaan untuk selalu mengandalkan dongeng sebagai bagian pelajaran hidup bermasyarakat.
Comments
0 Comments