Unit Manajemen Hutan Rakyat (UMHR) adalah satuan unit kawasan hutan
rakyat yang terbentuk dari kumpulan kepemilikan individu hutan rakyat dan di
unit manajemen semua tindakan terselenggara seperti: pengelolaan hutan,
pencatatan statistik, tindakan ekologi, sosial dan ekonomi (Awang, et. al.,
2007). Terselenggaranya kegiatan tersebut dalam suatu proses manajemen
pengelolaan hutan rakyat secara ideal akan meningkatkan daya guna hutan rakyat
bagi lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat.
Dikabupaten Lumajang konsep Unit Manajemen Hutan Rakyat mulai kenalkan
pada masyarakat baru pada tahun 2007. Konsep ini muncul pada awalnya merupakan
inisiasi dari Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Timur. Berikutnya ditindaklanjuti
oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Lumajang memberikan penawaran kepada kelompok
tani hutan rakyat di Kecamatan Gucialit untuk terlibat dalam proses sertifikasi
ekolabel hutan rakyat melalui skema PHBML LEI. Setelah melalui berbagai tahap
persiapan akhirnya pada tahun 2009 hasil penilaian dari LEI, Unit Manajemen
Hutan Rakyat Wana Lestari di Kecamatan Gucialit dinyatakan lulus dan berhak
memiliki sertifikat pengelolaan hutan rakyat lestari dari LEI dengan luas areal
yang tersertifikasi adalah 3.427,110 ha.
Konsep UMHR merupakan salah satu bentuk transformasi pengelolaan hutan
rakyat secara konvensional menjadi lebih modern. Tidak hanya sekedar perubahan
dari pengelolaan hutan rakyat yang individual
action menjadi collective action
tetapi juga dalam penerapan manajemen pengelolaan hutannya agar tetap lestari.
Namun demikian UMHR adalah hal baru bagi masyarakat, sehingga akan selalu ada
tantangan dalam implentasinya.
Menyitir pendapat Uphoff (1986) bahwa kelembagaan dan organisasi berada
dalam satu kontinum, dimana organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga.
Demikian juga yang terjadi pada UMHR Wana Lestari di Kecamatan Gucialit
Kabupaten Lumajang. Secara struktur UMHR Wana Lestari dapat dirasakan
kehadirannya di tengah-tengah masyarakat. Namun demikian implementasi UMHR
belum mencerminkan adanya aspek-aspek nilai, norma dan perilaku yang menjadi roh dari kelembagaan pengelolaan hutan
rakyat secara lestari. Hal ini menunjukan bahwa UMHR Wana Lestari adalah sebuah
bentuk kelembagaan introduksi.
UMHR Wana Lestari memang telah memperoleh sertifikasi dari LEI, namun
demikian masih dapat ditengarai adanya kelemahan yang dapat menjadi ancaman
terhadap kelestarian hutan rakyat dan eksistensi dari UMHR itu sendiri.
Lemahnya aspek kultural yang dimiliki menjadi potensi permasalahan. Ditinjau
dari sisi motivasi kelembagaan lahirnya UMHR Wana Lestari lebih diprakarsai
oleh Institusi Pemerintah yaitu Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Timur dan Dinas
Kehutanan Kabupaten Lumajang bukan wujud keinginan existing condition yang ada di masyarakat. Sampai sejauh ini UMHR
Wana Lestari juga belum menemukan sistem insentif dan penghargaan bagi
anggotanya. Permasalahan tersebut menunjukan bahwa UMHR sebagai organisasi
belum melembaga sebagaimana yang disampaikan Uphoff (1986) bahwa tujuan akhir
adalah organisasi yang melembaga atau kelembagaan yang memiliki aspek
organisasi.
Sebagai sebuah bentuk lembaga hasil introduksi, UMHR Wana Lestari
memiliki keterbatasan untuk membangun kelembagaannya sendiri secara mandiri.
Pemerintah sebagai introduktor model kelembagaan ini memiliki peran vital dalam
mengawal proses pelembagaan UMHR Wana Lestari menuju sebuah kelembagaan hutan
rakyat lestari. Sebagaimana yang dimaksud oleh Esman, kelembagaan berarti bahwa
lembaga dan inovasi-inovasinya telah diterima dan didukung oleh lingkungan
eksternalnya. Lingkungan telah menyesuaikan dirinya pada inovasi-inovasi
tersebut lebih daripada lembaga telah menyesuaikan dirinya pada lingkungan aslinya (Eaton, 1986). Dengan kata lain
hadirnya UMHR Wana Lestari haruslah menjadi panutan bagi lingkungannya dalam
penerapan perilaku pengelolaan hutan rakyat lestari.
Permasalahannya adalah bagaimana sebuah lembaga akan menjadi panutan bagi
lingkungannya jika lembaga itu sendiri masih memiliki kinerja yang lemah?
Selain hal tersebut kelembagaan bukanlah sebuah aksi tunggal dari satu lembaga,
ada aktivitas lembaga lain dalam lingkungan eksternalnya yang turut menentukan
jalannya proses pelembagaan. Berdasarkan hal tersebut maka penguatan
kelembagaan haruslah dilakukan dari sisi internal untuk meningkatkan kinerjanya
dan menciptakan lingkungan eksternal yang sadar akan kelembagaan.
UMHR Wana Lestari sebagai lembaga pengelola hutan rakyat bersertifikat
lestari memang masih memiliki kinerja yang lemah dalam menjamin kelestarian
hutan rakyat, namun demikian terlalu pagi untuk menyatakan bahwa proses
sertifikasi hutan rakyat telah gagal. Hanya saja memang perlu ada pola
pendekatan yang lebih komprehensif dalam mengintroduksikan kelembagaan baru
dalam lingkungan masyarakat. Beberapa model pendekatan pengembangan kelembagaan
khususnya bagi kelembagaan yang tergolong enacted
institution dapat ditengarai masih terdapat kekeliruan sebagaimana yang
terjadi pada UMHR Wana Lestari, diantaranya adalah:
1.
Anggota lembaga terdiri atas orang-orang dengan jenis
aktivitas sama.
2. Pengembangan kelembagaan menggunakan jalur struktural
dan lemah dalam pengembangan aspek kulturalnya.
3. Kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi
bantuan dan memudahkan tugas kontrol dari pelaksana program, belum mencapai
tataran peningkatan sosial kapital masyarakat.
4.
Pembinaan kelembagaan masih terbatas pada level
pengurus.
5. Perbaikan kelembagaan hanya diusahakan pada level UMHR
bukan pada superstrukturnya sehingga iklim lingkungan makro yang sadar akan
kelembagaan hutan rakyat lestari belum terbentuk
6. Introduktor hanya melakukan perbaikan kelembagaan pada
level bawah, padahal mungkin sumber permasalahan ada pada introduktor misalnya
pemahaman yang lemah terhadap strategi pengembangan kelembagaan dan konsep
kelestarian hutan rakyat, bekerja dengan waktu terbatas, dukungan tenaga yang
tidak memadai dan lain lain.
7. Keterlibatan pedagang masih mendapat persepsi yang
buruk karena dianggap sebagai faktor yang memperpanjang rantai tata niaga kayu
sehingga harus dipangkas.
Pada dasarnya dunia sosial
dibangun di atas tiga pilar sebagai elemen sosial pokok, yang secara
fundamental ketiganya sangat berbeda. Masing-masing memiliki paradigma,
ideology, nilai, norma, aturan main dan bentuk lembaganya sendiri. Tiga pilar
yang di maksud adalah: pemerintah, komunitas dan pasar. Ketiganya
direpresentasikan menjadi kekuatan politik, sosial dan ekonomi. Masing-masing
memiliki peran spesifik yang harus dijalankan secara ideal. Konfigurasi
kekuatan antara ketiganya merupakan dasar pembentuk sistem sosial. Uphof (1986)
menerangkan bahwa antara komunitas, pemerintah dan pasar memiliki perbedaan
yang hakiki. Sebagai salah satu elemen sosial, kelembagaan hutan rakyat lestari
dapat dikembalikan pada tiga pilar tersebut.
Memahami sebuah
kelembagaan berdasarkan tiga pilar elemen sosial pokok pada dasarnya merupakan
pemahaman kelembagaan dari sisi internalnya. Sisi eksternal kelembagaan
merupakan konteks kajian lain diluar tiga pilar tersebut. Sebagaimana kita sadari bahwa tidak ada lembaga dapat eksis dalam ruang hampa,
masing-masing diatur dalam suatu negara dan daerah yang berkait erat.
Aturan-aturan tersebut mengakibatkan beberapa konteks yang mempengaruhi
bagaimana lembaga beroperasi dan apa yang dihasilkan. Selain hal tersebut dalam
sebuah kelembagaan hutan rakyat lestari pemahaman mengenai konsep kelestarian
ekosistem juga harus di kedepankan yang diharapkan menjadi aspek kultural
sebagai jiwa kelembagaan tersebut.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa dunia ekonomi
kapitalis telah mewarnai sendi-sendi perilaku sosial akibatnya ada tarikan yang
kuat yang menginginkan sisi kehidupan ditata menurut prinsip-prinsip pasar.
Paradigma modernisasi berpandangan bahwa evolusi kelembagaan komunitas menuju
kelembagaan pasar adalah suatu keniscayaan. Hal ini juga dapat dilihat dalam
semangat sertifikasi hutan rakyat yang pada akhirnya selalu dikaitkan dengan
diterimanya produk dari hutan rakyat dalam percaturan pasar kayu internasional
dan peningkatan harga jual kayu melalui skema premium price. Sebagaimana yang disampaikan Uphoff (1986)
kelembagaan pasar memiliki karakteristik; profit
oriented, kompetitif, penuh perhitungan, realis dan individualis. Tentu
saja hal ini akan menjadi tantangan yang tidak ringan bagi pengembangan dan
penguatan kelembagaan hutan rakyat lestari jika tidak dicermati secara
bijaksana.