Ads 468x60px

Labels

Rabu, 11 Juli 2012

Menakar UMHR Wana Lestari Sebagai Bentuk Lembaga Hutan Rakyat Bersertifikasi Lestari

Unit Manajemen Hutan Rakyat (UMHR) adalah satuan unit kawasan hutan rakyat yang terbentuk dari kumpulan kepemilikan individu hutan rakyat dan di unit manajemen semua tindakan terselenggara seperti: pengelolaan hutan, pencatatan statistik, tindakan ekologi, sosial dan ekonomi (Awang, et. al., 2007). Terselenggaranya kegiatan tersebut dalam suatu proses manajemen pengelolaan hutan rakyat secara ideal akan meningkatkan daya guna hutan rakyat bagi lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat.
Dikabupaten Lumajang konsep Unit Manajemen Hutan Rakyat mulai kenalkan pada masyarakat baru pada tahun 2007. Konsep ini muncul pada awalnya merupakan inisiasi dari Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Timur. Berikutnya ditindaklanjuti oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Lumajang memberikan penawaran kepada kelompok tani hutan rakyat di Kecamatan Gucialit untuk terlibat dalam proses sertifikasi ekolabel hutan rakyat melalui skema PHBML LEI. Setelah melalui berbagai tahap persiapan akhirnya pada tahun 2009 hasil penilaian dari LEI, Unit Manajemen Hutan Rakyat Wana Lestari di Kecamatan Gucialit dinyatakan lulus dan berhak memiliki sertifikat pengelolaan hutan rakyat lestari dari LEI dengan luas areal yang tersertifikasi adalah 3.427,110 ha.
 
Konsep UMHR merupakan salah satu bentuk transformasi pengelolaan hutan rakyat secara konvensional menjadi lebih modern. Tidak hanya sekedar perubahan dari pengelolaan hutan rakyat yang individual action menjadi collective action tetapi juga dalam penerapan manajemen pengelolaan hutannya agar tetap lestari. Namun demikian UMHR adalah hal baru bagi masyarakat, sehingga akan selalu ada tantangan dalam implentasinya.
Menyitir pendapat Uphoff (1986) bahwa kelembagaan dan organisasi berada dalam satu kontinum, dimana organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga. Demikian juga yang terjadi pada UMHR Wana Lestari di Kecamatan Gucialit Kabupaten Lumajang. Secara struktur UMHR Wana Lestari dapat dirasakan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat. Namun demikian implementasi UMHR belum mencerminkan adanya aspek-aspek nilai, norma dan perilaku yang menjadi roh dari kelembagaan pengelolaan hutan rakyat secara lestari. Hal ini menunjukan bahwa UMHR Wana Lestari adalah sebuah bentuk kelembagaan introduksi.
UMHR Wana Lestari memang telah memperoleh sertifikasi dari LEI, namun demikian masih dapat ditengarai adanya kelemahan yang dapat menjadi ancaman terhadap kelestarian hutan rakyat dan eksistensi dari UMHR itu sendiri. Lemahnya aspek kultural yang dimiliki menjadi potensi permasalahan. Ditinjau dari sisi motivasi kelembagaan lahirnya UMHR Wana Lestari lebih diprakarsai oleh Institusi Pemerintah yaitu Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Timur dan Dinas Kehutanan Kabupaten Lumajang bukan wujud keinginan existing condition yang ada di masyarakat. Sampai sejauh ini UMHR Wana Lestari juga belum menemukan sistem insentif dan penghargaan bagi anggotanya. Permasalahan tersebut menunjukan bahwa UMHR sebagai organisasi belum melembaga sebagaimana yang disampaikan Uphoff (1986) bahwa tujuan akhir adalah organisasi yang melembaga atau kelembagaan yang memiliki aspek organisasi.
Sebagai sebuah bentuk lembaga hasil introduksi, UMHR Wana Lestari memiliki keterbatasan untuk membangun kelembagaannya sendiri secara mandiri. Pemerintah sebagai introduktor model kelembagaan ini memiliki peran vital dalam mengawal proses pelembagaan UMHR Wana Lestari menuju sebuah kelembagaan hutan rakyat lestari. Sebagaimana yang dimaksud oleh Esman, kelembagaan berarti bahwa lembaga dan inovasi-inovasinya telah diterima dan didukung oleh lingkungan eksternalnya. Lingkungan telah menyesuaikan dirinya pada inovasi-inovasi tersebut lebih daripada lembaga telah menyesuaikan dirinya pada lingkungan  aslinya (Eaton, 1986). Dengan kata lain hadirnya UMHR Wana Lestari haruslah menjadi panutan bagi lingkungannya dalam penerapan perilaku pengelolaan hutan rakyat lestari.
Permasalahannya adalah bagaimana sebuah lembaga akan menjadi panutan bagi lingkungannya jika lembaga itu sendiri masih memiliki kinerja yang lemah? Selain hal tersebut kelembagaan bukanlah sebuah aksi tunggal dari satu lembaga, ada aktivitas lembaga lain dalam lingkungan eksternalnya yang turut menentukan jalannya proses pelembagaan. Berdasarkan hal tersebut maka penguatan kelembagaan haruslah dilakukan dari sisi internal untuk meningkatkan kinerjanya dan menciptakan lingkungan eksternal yang sadar akan kelembagaan.
UMHR Wana Lestari sebagai lembaga pengelola hutan rakyat bersertifikat lestari memang masih memiliki kinerja yang lemah dalam menjamin kelestarian hutan rakyat, namun demikian terlalu pagi untuk menyatakan bahwa proses sertifikasi hutan rakyat telah gagal. Hanya saja memang perlu ada pola pendekatan yang lebih komprehensif dalam mengintroduksikan kelembagaan baru dalam lingkungan masyarakat. Beberapa model pendekatan pengembangan kelembagaan khususnya bagi kelembagaan yang tergolong enacted institution dapat ditengarai masih terdapat kekeliruan sebagaimana yang terjadi pada UMHR Wana Lestari, diantaranya adalah:
1.       Anggota lembaga terdiri atas orang-orang dengan jenis aktivitas sama.
2.  Pengembangan kelembagaan menggunakan jalur struktural dan lemah dalam pengembangan aspek kulturalnya.
3.  Kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan tugas kontrol dari pelaksana program, belum mencapai tataran peningkatan sosial kapital masyarakat.
4.       Pembinaan kelembagaan masih terbatas pada level pengurus.
5.    Perbaikan kelembagaan hanya diusahakan pada level UMHR bukan pada superstrukturnya sehingga iklim lingkungan makro yang sadar akan kelembagaan hutan rakyat lestari belum terbentuk
6.   Introduktor hanya melakukan perbaikan kelembagaan pada level bawah, padahal mungkin sumber permasalahan ada pada introduktor misalnya pemahaman yang lemah terhadap strategi pengembangan kelembagaan dan konsep kelestarian hutan rakyat, bekerja dengan waktu terbatas, dukungan tenaga yang tidak memadai dan lain lain.
7.   Keterlibatan pedagang masih mendapat persepsi yang buruk karena dianggap sebagai faktor yang memperpanjang rantai tata niaga kayu sehingga harus dipangkas.
Pada dasarnya dunia sosial dibangun di atas tiga pilar sebagai elemen sosial pokok, yang secara fundamental ketiganya sangat berbeda. Masing-masing memiliki paradigma, ideology, nilai, norma, aturan main dan bentuk lembaganya sendiri. Tiga pilar yang di maksud adalah: pemerintah, komunitas dan pasar. Ketiganya direpresentasikan menjadi kekuatan politik, sosial dan ekonomi. Masing-masing memiliki peran spesifik yang harus dijalankan secara ideal. Konfigurasi kekuatan antara ketiganya merupakan dasar pembentuk sistem sosial. Uphof (1986) menerangkan bahwa antara komunitas, pemerintah dan pasar memiliki perbedaan yang hakiki. Sebagai salah satu elemen sosial, kelembagaan hutan rakyat lestari dapat dikembalikan pada tiga pilar tersebut.
Memahami sebuah kelembagaan berdasarkan tiga pilar elemen sosial pokok pada dasarnya merupakan pemahaman kelembagaan dari sisi internalnya. Sisi eksternal kelembagaan merupakan konteks kajian lain diluar tiga pilar tersebut. Sebagaimana kita sadari bahwa tidak ada lembaga dapat eksis dalam ruang hampa, masing-masing diatur dalam suatu negara dan daerah yang berkait erat. Aturan-aturan tersebut mengakibatkan beberapa konteks yang mempengaruhi bagaimana lembaga beroperasi dan apa yang dihasilkan. Selain hal tersebut dalam sebuah kelembagaan hutan rakyat lestari pemahaman mengenai konsep kelestarian ekosistem juga harus di kedepankan yang diharapkan menjadi aspek kultural sebagai jiwa kelembagaan tersebut. 
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa dunia ekonomi kapitalis telah mewarnai sendi-sendi perilaku sosial akibatnya ada tarikan yang kuat yang menginginkan sisi kehidupan ditata menurut prinsip-prinsip pasar. Paradigma modernisasi berpandangan bahwa evolusi kelembagaan komunitas menuju kelembagaan pasar adalah suatu keniscayaan. Hal ini juga dapat dilihat dalam semangat sertifikasi hutan rakyat yang pada akhirnya selalu dikaitkan dengan diterimanya produk dari hutan rakyat dalam percaturan pasar kayu internasional dan peningkatan harga jual kayu melalui skema premium price. Sebagaimana yang disampaikan Uphoff (1986) kelembagaan pasar memiliki karakteristik; profit oriented, kompetitif, penuh perhitungan, realis dan individualis. Tentu saja hal ini akan menjadi tantangan yang tidak ringan bagi pengembangan dan penguatan kelembagaan hutan rakyat lestari jika tidak dicermati secara bijaksana.
Comments
0 Comments